Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman
tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.
Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau kepulau
lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem
perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu,
menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula
dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya
Sumber daya hayati yang paling banyak dieksploitasi pemnfaatannya adalah sumber
daya yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan yang terletak di dataran rendah .
Dari segi ekonomi memang ekosistem hutan semacam inilah yang dapat mendatangkan
keuntungan terbesar karena mengandung kekayaan paling tinggi yang disebabkan
oleh adanya keanekaragaman hayati yang terbesar pula. Lagipula bagian terbesar
hutan-hutan Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropik yang terletak di dataran
rendah itu. Di dalam hutan semacam ini tumbuh berbagai jenis kayu yang bernilai
ekonomis tinggi.
Secara internasional hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan
dianggap signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu, sebagai sumber
keragaman hayati dunia hutan Indonesia telah menjadi perhatian untuk
dipertahankan keberadaan dan tingkat mega biodiversity, yang memiliki 10
persen tumbuhan berbunga di dunia, 17 persen spesies burung , 12 persen satwa
mamalia, 16 persen satwa reptilia, dan 16 persen spesies amphibia, dari populasi
dunia.
Oleh karena itu, pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional
dan terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi
kemampuan hutannya menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal,
nasional, maupun regional, bahkan internasional.
Pengelolaan hutan yang profesional dan terencana dibutuhkan, terutama untuk
daerah yang rentan terhadap terjadinya degradasi lahan dan lingkungan, seperti
di Irian Jaya.
Selama 3 dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi
bangsa, dan telah memeberikan dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja,
perolehan devisa, dan pengembangan wilayah.
Diakuinya pengelolaan hutan di masa lalu banyak kekurangan. Dinamika pembangunan
masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu, yang
berlebihan terbukti oleh kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan
pasok kayu lestari.
Kekecewaan terhadap sistem pengusahaan hutan telah menimbulkan berbagai
permasalahaan di beberapa daerah yang berdampak terhadap degredasi hutan. Selama
5 tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun.
Berdasarkan citra satelit 1995 - 1999 hutan produksi yang
rusak di Indonesia pada 432 HPH mencapai 14,2 juta Ha, sedangkan kerusakan pada
hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 5.9 juta Ha.
Kerusakan tersebut, disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat,
penebangan liar, perambahan hutan, dan pembukaan hutan skala besar serta
kebakaran hutan. "Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang
melanda Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu
Ada 2 hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab dari kerusakan hutan. Yang
pertama adalah adanya hak penguasaan hutan yang kita
ketahui tidak lagi berjalan secara prosedural. Dalam artian instasi-
instasi yang mendapat hak penguasaan hutan atau HPH tidak lagi mematuhi
peraturan dalam pengelolaan hutan mereka.Sedangkan yang kedua adalah
penambangan-penambangan di kawasan htan lindung yang sampai saat ini mengalami
kontroversi karena banyak investor yang merasa “nggondok ” karena mereka
sudah terlanjur menanamkan investasi mereka untuk penambangan sedangkan di
Indonesia sendiri baru saja dikeeluarkan UU No 41/1999 yang melarang adanya
penambangan didaerah konservasi.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai boleh tidaknya penambangan di daerah hutan
lindung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro mengatakan,
pihaknya masih tetap mengupayakan agar usaha pertambangan bisa dilakukan
di kawasan konservasi atau hutan lindung. Menurutnya, pihaknya akan tetap
mengupayakan hal itu, meskipun Menteri Kehutanan, M Prakosa menyatakan tidak
akan memberikan peluang bagi pengusahaan pertambangan di kawasan hutan karena
dianggap melanggar UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
Permasalahan pengusahaan pertambangan di hutan menjadi pelik karena ada
kontrak-kontrak pertambangan yang telah dilakukan sebelum UU Nomor 41/1999
diberlakukan. Setelah UU itu berlaku, ternyata Departemen Kehutanan menetapkan
bahwa lokasi pertambangan tersebut berada di dalam kawasan konservasi.
"Hal-hal seperti ini pula yang perlu dibicarakan dengan kedua pihak karena
kontrak juga merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama
investor," ungkapnya.
Penyelesaian itu, lanjut Purnomo, tak harus selalu dengan melakukan perubahan UU
No 41/1999. Ia menambahkan, kenyataannya di beberapa daerah juga terdapat
kawasan hutan lindung yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, namun nyatanya
bukan hutan lindung lagi, tapi hanya padang ilalang belaka. "Hal itu pula
yang perlu didefinisikan lagi," tegasnya.
Sebelumnya, sejumlah investor telah menunda pengusahaan pertambangan di Kawasan
Timur Indonesia karena terdindih peraturan sektor kehutanan dan pertambangan.
Investor tersebut mengancam tidak akan menempatkan dananya di Indonesia lagi,
jika permasalahan hukum di Indonesia belum juga teratasi.
Pemerintah membentuk dua tim untuk menyelesaikan masalah pertambangan yang
diakibatkan oleh undang-undang No. 41/1999, di mana pertambangan terbuka tidak
diperbolehkan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Tujuannnya untuk mencari
titik penyelesaian dari masalah tumpang tindih ini. Terutama difokuskan pada
kontrak-kontrak pertambangan dan enerji yang ditandatangani sebelum UU No. 41
/1999 itu tersebut. Hal ini untuk menjaga iklim investasi dan kelangsungan
pengusahaan ini.
Dengan adanya UU No. 41/1999 itu, sebagian besar perusahaan pertambangan yang
masih eksplorasi menjadi terhenti kegiatannya karena adanya pergeseran dari
hutan produksi menjadi hutan lindung.
Sampai saat ini terdapat 150 perusahaan pertambangan terdiri dari 116 tahap
eksplorasi dan 34 sudah dalam tahap ekploitasi.
Menurut Purnomo, jumlah nilai rencana investasi 1-5 tahun sejak 2000 adalah 3,2
milyar dolar As. Sedangkan kontribusi dari 7 kontrak area terhadap
perekonomian nasional sebelum UU No. 41/1999 diterbitkan adalah 944 juta dolar
AS.
Menurut menhut Prakosa, kedua tim tersebut nantinya akan melibatkan seluruh
unsur masyarakat terdiri dari LSM, PT, kantor KLH , Pemda serta swasta. "Semua
pihak terlibat di sini. Jadi mempunyai nilai kompetensi ilmiah yang dibutuhkan
untuk menilai sehingga diharapkan komprehensif dan obyektif," tambah Menhut.
Kedua tim tersebut adalah tim A yang dibentuk melalui SK menteri perekonomian
dan bertugas untuk meneliti perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi.
Sedang tim B dengan SK menhut meneliti perusahaan yang amsih dalam tahap
ekplorasi.
Selain itu, lanjut Purnomo, pemerintah sedang menyelesaikan rencana peraturan
pemerintah yang difasilitasi oleh sekretaris kabinet dan diharapkan bisa
menjembatani masalah-masalah yang timbul dari UU No. 41/1999.
Sedangkan untuk kontrak-kontrak ke depan menurut Menhut, akan megikuti aturan UU
No. 41/1999 yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak diperbolehkan untuk
melakukan pertambangan terbuka di hutan lindung dan konservasi.
Sedangkan kerusakan hutan yang disebabkan oleh penyalahgunaan Hak Penguasaan
Hutan (HPH) ditanggapi oleh Menteri
Kehutanan (Menhut) M Prakosa dengan cara menunda izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
sampai review pengkajian HPH untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh
mengenai hutan Indonesia selesai dilakukan.
Menhut mengharapkan tahun 2003, semua HPH sudah mendapatkan sertifikasi
pengelolaan hutan produksi lestari. "Yang tidak dapat itu akan kita cabut
izinnya. Kita akan betul-betul tegas, tidak akan main-main dalam pengelolaan
hutan ini," ujar Prakosa.
Review HPH ini menurutnya akan dilakukan oleh lembaga independen berdasarkan
kriteria yang diajukan Dephut, namun Dephut sendiri tidak terlibat dalam
peristiwa tersebut.
Sampai saat ini, sudah ada tiga institusi yang mereview HPH, dimana review
sendiri akan dilakukan April mendatang. Menhut mengemukakan, dirinya menghadap
Wapres melaporkan mengenai upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan
oleh Dephut, terutama berkaitan dengan restrukturisasi kehutanan dalam rangka
efisiensi.
Dikemukakannya, dalam rangka efisiensi tersebut, Dephut melakukan tiga kegiatan
yaitu rehabilitas, pemanfaatan dan industri kehutanan. "Dari hulu sampai ke
hilirnya akan dilakukan pembenahan-pembenahan dan sudah dilaksanakan, sehingga
akan diperoleh suatu struktur bisnis kehutanan yang efisien," jelasnya.
Prakosa menambahkan, Dephut tidak akan memperpanjang izin HPH bila hutan yang
dikelola perusahaan tersebut tidak bagus, dimana potensi hutannya harus 75 meter
kubik per hektar atau setara 14 pohon berdiamater 50 cm ke atas per hektar.
"Jadi kalau areal itu sudah rawan, kita masukkan sebagai area rehabilitas,
sehingga tingkat eksploitasi hutannya kita kurangi sedemikian rupa,"
katanya.
Ia mencanangkan, dari 10-20 tahun ke depan, tidak bisa tidak merupakan era
rehabilitas dan konservasi hutan, karena tingkat eksploitasi hutan Indonesia
saat ini sudah terlalu tinggi sehingga melebihi daya dukung hutan untuk
rehabilitas.
Secara global yang dibutuhkan oleh
kelestariaan hutan adalah sebuah pengelola yang sah dan bertanggung jawab.
Seperti yang dijanjikan oleh Menteri Kehutanan.Menteri Kehutanan Nur Mahmudi
Ismail mengusulkan sebuah perusahaan umum (Perum) sebagai instansi pengelolaan
hutan sebagai konsep sistem baru yang menyatukan legalitas pemanfaatan dan
legalitas hukum pengelolaan hutan lestari.
, Ia menjelaskan institusi tersebut merupakan pemegang mandat dalam pelaksanaan
otonomi pengelolaan hutan, sekaligus pemegang mandat dari pemerintah pusat,
sebagai pemegang kewenangan hukum atas kawasan hutan.
Untuk sementara institusi yang dimaksud dinamakan Badan Pengelola Kehutanan
dalam bentuk badan usaha Perum dengan struktur dewan pengawas dan dewan direksi,
dari perpaduan wakil masyarakat adat, swasta, pemerintah kabupaten dan propinsi
dan pemerintah pusat.
Menurut dia, sistem itu akan lebih menguntungkan Pemda serta masyarakat dan
lebih menjamin terwujudnya kelestarian hutan.
Mengingat begitu banyaknya manfaat hutan dan kondisi huatan yang masih kritis.
Seadangkan lingkungan hidup kita selalu dituntut untuk terus mampu menghidupi
kebutuhan manusia maka ada baiknya bagi kita untuk lebih mengingat kembali tugas
kita untuk memperbaiki
hutan kita.